Thursday, February 16, 2006

Manifesto Epistoholik Indonesia : Menjual Impian “Memindahkan” Himalaya Dengan Tulisan Surat-Surat Pembaca

Oleh : Bambang Haryanto
Pendiri Komunitas Epistoholik Indonesia.



Sejarah awal. Pohon palem yang tidak terurus di Alun-Alun Utara Solo merupakan embrio paling awal gagasan berdirinya komunitas Epistoholik Indonesia (EI). Saat itu, antara tahun 1973 atau 1975, saya menulis surat pembaca ke surat kabar Suara Merdeka, memasalahkan pohon palem yang terlantar tersebut.

Surat pembaca saya dimuat. Pohon palem itu tidak jadi mati, disirami, dan terpelihara hingga tumbuh besar. Saya pun segera kecanduan untuk terus menulis surat-surat pembaca. Benih komunitas Epistoholik Indonesia mulai disemaikan.


Pencetus Epistoholik Indonesia : Saya, Bambang Haryanto, penulis surat pembaca sejak tahun 1973. Orang Jawa berstatus WNA (WoNogiri Asli), Jawa Tengah. Gagasan dan cita-cita komunitas Epistoholik Indonesia dalam memanfaatkan fenomena blog di Internet guna memberdayakan potensi warganya dalam berbagi wawasan, kearifan dan ilmu pengetahuan sebagai wujud demokratisasi, telah memenangkan Mandom Resolution Award 2004 dan tercatat di Museum Rekor Indonesia dengan Piagam No. 1441/R.MURI/III/2005. Tanggal 27 Januari (2005) telah pula dideklarasikan sebagai Hari Epistoholik Nasional.

Profil diri saya terkait dengan komunitas Epistoholik Indonesia telah dimuat di Majalah Intisari (“Masuk Buku Rekor Karena Surat Pembaca,” Juli 2004), Harian Solopos (“Mengenal Komunitas Penulis Surat Pembaca,” 10/11/2004), tayangan Bussseeet ! di TV7 (20/3/2005 dan 18/5/2005), Majalah MataBaca (“Episto Ergo Sum : Saya Menulis Surat Pembaca Karena Saya Ada !,” Oktober 2005), Mingguan Seputar Semarang (“Epistoholik Indonesia, Komunitas Penulis Surat Pembaca : Obat Ampuh Menghilangkan Stres,” 27 Juni 2006), Harian Media Indonesia (“Manusia, Radio, Dan Satu Gelombang,” 10 September 2006), Harian Republika (“Saya Ada Karena Surat Pembaca,” 21 April 2007) dan Harian Kontan (“Jurnalisme Warga Epistoholik,” 29 Mei 2007).

Juga menjadi isi mata acara Saga yang disiarkan secara nasional oleh Jaringan Kantor Berita Radio 68H Jakarta (6/11/2006) dan Saga Interaktif di Radio Utan Kayu, Jakarta (11/12/2006).

Opini saya tentang masa depan sepakbola Indonesia dikutip harian The Straits Times (Singapura), 17/1/2005, saat diwawancarai di Final Piala Tiger 2005, Leg 2, di Stadion Changi, Singapura (16/1/2005). Berbunyi : “The Future Still Bright : The future is still bright. Peter Withe is a good coach and motivator. We can bounce back.”

Artikel saya yang mutakhir berjudul “Benturan Peradaban : Promo Islam Lewat Lelucon” dimuat di harian Kompas (18/11/2005 : h. 14) dan “Komedi dan Komedian : Kejujuran Mengolok Diri Sendiri” dimuat di harian Kompas (27/1/2007 : h. 14).

Liputan media maya tentang epistoholik dan Epistoholik Indonesia :

  • Citizen Journalism, Dari Epistoholik Ke Blogosphere.

  • Episto Ergo Sum oleh Wisnu Martha, pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Gajah Mada.

  • “Epistoholik = Jurnalisme Warga, Dari, Oleh, dan Untuk Warga” : Wawancara dengan Effendi Gazali, pakar komunikasi Universitas Indonesia.

  • Mengulik Dunia Kaum Epistoholik.

  • Surat Pembaca, Bagian dari Eksistensi Masyarakat yang Demokratis : Profil Bambang Haryanto.



  • Situs blog di Internet :
    Epistoholik Indonesia (http://episto.blogspot.com/).
    Email : humorliner (at) yahoo.com.
    Milis : epistoholik-indonesia@yahoogroups.com

    Slogan Epistoholik Indonesia : episto ergo sum, saya menulis surat pembaca karena saya ada. Merupakan plesetan dari cogito ergo sum, saya berpikir karena saya ada, dari filsuf dan matematikawan Perancis, Rene Descartes, 1596–1650.

    Image hosted by Photobucket.com
    Deklarasi Epistoholik Indonesia Di MURI : Presentasi Bambang Haryanto di Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai pencetus komunitas Epistoholik Indonesia. Sekaligus pada hari ulang tahun ke-15 MURI tersebut, 27 Januari 2005, warga Epistoholik Indonesia memproklamasikan tanggal yang sama sebagai Hari Epistoholik Nasional.

    Nampak dalam foto (ki-ka) : Suprayitno, Joko Suprayoga (keduanya warga EI), Paulus Pangka (Manajer MURI), Ismunandar SC (Warga EI), Bambang Haryanto dan Jaya Suprana, pendiri MURI. Pendiri MURI dalam kesempatan tersebut berkata, "gagasan (komunitas kaum epistoholik) merupakan ide terbaik yang masuk MURI tahun ini !" (Foto : Ayu Permata Pekerti/Republik Aeng-Aeng, Solo).

    Apa itu epistoholik ? Istilah epistoholik berasal dari majalah TIME (6 April1992), yang berarti orang yang kecanduan menulis surat-surat pembaca, untuk menjuluki Anthony Parakal (saat itu 72 tahun), warga Evershine Nagar, Mumbai, India, karena prestasi hebatnya menulis surat-surat pembaca di pelbagai surat kabar sebanyak 5.000 lebih surat berbahasa Inggris.

    Parakal menulis surat-surat pembaca sejak tahun 1955. Prestasinya kemudian terukir dalam Limca Book of Records (sejak 1990), Guinness Book Of World Records (1993, edisi India), dan masuk majalah TIME tadi. Istilah itu merupakan paduan dari kata “epistle”, yang berarti surat dan imbuhan “oholic” yang berarti kecanduan.

    Kilas Balik Epistoholik Indonesia. Hari Jumat, 10 April 1992, saya yang saat itu berdomisili di Jakarta, mengunjungi Perpustakaan American Cultural Centre (ACC) yang terletak di Wisma Metropolitan II, Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta.

    Saya memang secara rutin berkunjung ke perpustakaan ACC ini, dan saat itu ketika membaca-baca aneka majalah, saya tertarik paparan majalah TIME (6/4/1992) mengenai sosok tokoh penulis surat pembaca asal India, Anthony Parakal. Artikel menarik itu lalu saya fotokopi. Sayang sekali, fotokopi itu saat ini tak lagi saya punyai. Tetapi yang pasti, peristiwa ini telah saya catat dalam buku harian saya. Sejarah kecil EI itu pun bergulir.

    Pada hari Rabu, 22 April 1992, karena kebelet ingin menularkan sosok Anthony Parakal itu, saya telah mengirimkan surat dan fotokopi kisahnya di majalah TIME itu kepada 3 (tiga) orang yang sering namanya saya jumpai dalam kolom surat pembaca. Mereka adalah : Bapak Soeroyo (Solo), Haji G. Malikmass (Jakarta) dan Lucas Sumanto (Jakarta).

    Pada hari Sabtu, 25 April 1992, surat dan fotokopi kisah Anthony Parakal itu saya kirimkan kepada Bapak dr. Willie Japaris (Jakarta). Esoknya, 26 April 1992, kepada Bapak Drs. Sunarto Prawirosujanto (Jakarta) dan Ir. Bambang Hesti (Semarang). Bahkan pada hari Kamis, 30 April 1992, saya kirimkan surat mempromosikan epistoholiknya Pak Anthony Parakal itu kepada bintang film/sutradara yang kini jadi politisi : Sophan Sophiaan.

    Hari Jumat, 1 Mei 1992, ketika main ke Toko Buku Rawamangun, saya menemukan majalah TIME (4 Mei 1992) yang memuat beragam komentar pembaca mengenai Anthony Parakal. Artikel ini tidak saya fotokopi dan saat ini saya tidak ingat apa isi persis informasinya.

    Impian saya tahun 1992, yaitu keinginan membentuk komunitas penulis surat pembaca gagal saya ujudkan saat itu. Pada tahun 1994, tepatnya tanggal 14 Februari 1994, saya menulis lagi surat pembaca di majalah Tempo. Judulnya "Kaum epistoholic, bersatulah!" Ajakan saya itu tidak bersambut.

    Ketika dalam masa pasif itu ternyata ide saya tersebut dicaplok oleh seseorang bernama Erwin, SH, dari Medan. Ia menulis surat pembaca, persis isi surat pembaca saya, tetapi hanya beda penyebutan nama organisasi para penulis surat pembaca yang ingin ia dirikan.

    Ia pun mengirimi saya surat, di mana dalam rancangan daftar personil pengurusnya dirinya tampil sebagai ketua. Saya lupa apa jabatan saya dalam organisasi itu. Tetapi bukan ketua. Yang sangat menyedihkan, dengan organisasi baru itu Erwin berencana mengirimkan proposal ke Sekretariat Negara, yang saat itu menterinya dijabat oleh Murdiono. Inti isi proposalnya adalah, apa lagi, kalau bukan minta bantuan dana. Gagasan yang sungguh bertentangan dengan cita-cita dan nurani saya.

    Komunitas penulis surat pembaca yang saya impikan adalah komunitas yang hadir sebagai salah satu pilar penegakan demokrasi Di Amerika Serikat, menurut Emanuel Rosen dalam bukunya The Anatomy of Buzz (2000), mengutip hasil penelitian lembaga riset Roper Starch sejak tahun 1940-an, bahwa para penulis surat pembaca di AS tergolong sebagai the influential Americans, orang-orang Amerika yang berpengaruh.

    Mereka terlibat dalam kegiatan publik, memiliki komitmen sosial, mengamati, mencerna, berpikir, dan kemudian berani menyuarakan gagasan dan aspirasinya melalui media massa. Novelis Italia, Susanna Tamaro dalam novelnya Va’ Dove Ti Porte Il Cuore, sampai berkata : “Dan surat-surat pembaca itu. Tak hentinya aku mengagumi hal-hal yang ditulis dengan berani oleh orang-orang itu”.

    Saya mencita-citakan komunitas yang saya cintai ini warganya menulis secara independen, berprinsip “reward is in the doing” (pahala ternikmati ketika melakukan aktivitas menulis surat-surat pembaca), kritis, bernalar dan tajam, tetapi saat itu di tangan seorang Erwin rupanya harus rela merangkak, merendahkan diri demi imbalan uang, menyerahkan diri untuk terkooptasi oleh rejim Orde Baru yang sangat represif saat itu. Sokurlah, ide Erwin itu tidak menjadi kenyataan !

    Pada bulan Oktober 2003 saya berkenalan dengan teknologi blog, yaitu sarana publikasi jurnal atau buku harian secara elektronik di Internet. Perkenalan itu memicu kembali cita-cita saya untuk mendirikan komunitas Epistoholik Indonesia. Saya yakin, kegetolan menulis surat pembaca bila dipadukan dengan teknologi blog di Internet akan mampu memberi otot dan bobot yang hebat bagi eksistensi Epistoholik Indonesia sebagai salah satu pilar demokrasi.

    Suatu kebetulan sejarah, setelah sebelas tahun kemudian saya kembali mengirim surat, mencoba mengenalkan Epistoholik Indonesia kepada Bapak Soeroyo (Solo). Saat tahun 1992, memang tidak ada balasan dari beliau. Tetapi tahun 2003, beliau membalas dan berkenan bergabung dalam Epistoholik Indonesia.

    Bahkan bulan Desember 2003, beliau mendapat penghargaan dari Republik Aeng-Aeng karena selama tahun 2003 telah menciptakan rekor, menulis 39 surat pembaca sepanjang tahun 2003 di Harian Solopos (Solo). Dalam acara penyerahan piagam di Balai Soedjatmoko, Solo, saya bisa bertemu muka dengan Pak Soeroyo, walau kontak 22 April 1992 itu sama-sama tidak kita sadari saat itu. Pak Soeroyo baru saja memperoleh Anugerah Solopos Award 2005.


    Warga Epistoholik Indonesia. Komunitas EI kini menghimpun sebanyak 36 warga yang tersebar di pelabagai kota. Sebagian besar mereka saya (BH) kontak untuk bergabung. Ibaratnya mereka saya berikan lisensi kepercayaan dan rasa hormat untuk bergabung dalam komunitas Epistoholik Indonesia. Kota warga EI meliputi Bandung, Batang, Bojonegoro, Jatisrono, Jombang, Kaliurang, Karanganyar, Kendal, Magelang, Malang, Purwodadi, Salatiga, Semarang, Solo, Sragen, Yogyakarta, Wonogiri, dan bahkan Melbourne (Australia). Usia warga EI beragam, dari Eric Levi Siranda, 20 tahun, berasal dari Malang sampai Soeroyo (Solo) dan Hadiwardoyo (Kaliurang) yang usianya sudah di atas 80 tahun.


    Daftar Warga Epistoholik Indonesia : Ambijo (Kebumen), Andreas Adhy Aryanto (Purwodadi), Ary Yudhianto (Semarang), Asrie M. Iman (Jakarta), Bambang Haryanto (Wonogiri), Danny Herwindo (Surabaya), Darmawan Soetjipto (Jakarta), Dion Desembriarto (Yogyakarta), Djoko Widodo (Bandung), E. Musyadad (Jombang), Eric Levi Siranda (Malang), F. Pudiyanto Suradibroto (Jakarta), F.S. Hartono (Yogyakarta), FX Triyas Hadi Prihantoro (Solo), Hadiwardoyo (Kaliurang), H. Soerodjokartono (Bandung), Hanung Kuncoro (Sukoharjo), Hariyanto Imadha (Bojonegoro, terhitung 8 Maret 2009 mengundurkan diri,tetapi ia membuat milis baru yang tetap menggunakan nama "Epistoholik Indonesia" dengan alamat : http://groups.yahoogroups.com/group/epistoholik_indonesia),

    Harry Respatie Wiyono (Sragen), Hayu Pratidina (Magelang), Herman Tony (Yogyakarta), Ismunandar C. Suryosedono (Salatiga), Jaja Suharja (Serang), Joko Prihharjanto (Jatisrono, Wonogiri), Joko Suprayoga (Kendal), Kukuh Widyatmoko (Malang), Lasma Siregar (Melbourne, Australia), L. Ismail Lubis (Wonogiri), M. Fahrudin Hidayat (Batang), Moegono (Solo),

    Mustikaningsih (Solo), Nurfita Kusuma Dewi (Semarang),Pradiko Reksopranoto (Yogyakarta), Purnomo Iman Santoso (Semarang), Siti Jazimah (Magelang), Soeroto (Pekalongan), Soeroyo (Solo), Sri Hastuti (Wonogiri), Suprayitno (Semarang, dianggap mengundurkan diri dan dicabut lisensi kepercayaan untuknya karena ia mendirikan organisasi serupa tanpa pernah membicarakan isu tersebut sebelumnya), Tatang Sumirat (Bandung), Thomas Sutasman (Cilacap), Udji Prijatno (Kebumen),Umar Yuwono (Sukoharjo) dan Wahyu Priyono (Karanganyar).


    (Bersambung ke : Visi dan Misi Epistoholik Indonesia)

    No comments: