Thursday, February 16, 2006

Manifesto Epistoholik Indonesia : Menjual Impian “Memindahkan” Himalaya Dengan Tulisan Surat-Surat Pembaca

Oleh : Bambang Haryanto
Pendiri Komunitas Epistoholik Indonesia.



Sejarah awal. Pohon palem yang tidak terurus di Alun-Alun Utara Solo merupakan embrio paling awal gagasan berdirinya komunitas Epistoholik Indonesia (EI). Saat itu, antara tahun 1973 atau 1975, saya menulis surat pembaca ke surat kabar Suara Merdeka, memasalahkan pohon palem yang terlantar tersebut.

Surat pembaca saya dimuat. Pohon palem itu tidak jadi mati, disirami, dan terpelihara hingga tumbuh besar. Saya pun segera kecanduan untuk terus menulis surat-surat pembaca. Benih komunitas Epistoholik Indonesia mulai disemaikan.


Pencetus Epistoholik Indonesia : Saya, Bambang Haryanto, penulis surat pembaca sejak tahun 1973. Orang Jawa berstatus WNA (WoNogiri Asli), Jawa Tengah. Gagasan dan cita-cita komunitas Epistoholik Indonesia dalam memanfaatkan fenomena blog di Internet guna memberdayakan potensi warganya dalam berbagi wawasan, kearifan dan ilmu pengetahuan sebagai wujud demokratisasi, telah memenangkan Mandom Resolution Award 2004 dan tercatat di Museum Rekor Indonesia dengan Piagam No. 1441/R.MURI/III/2005. Tanggal 27 Januari (2005) telah pula dideklarasikan sebagai Hari Epistoholik Nasional.

Profil diri saya terkait dengan komunitas Epistoholik Indonesia telah dimuat di Majalah Intisari (“Masuk Buku Rekor Karena Surat Pembaca,” Juli 2004), Harian Solopos (“Mengenal Komunitas Penulis Surat Pembaca,” 10/11/2004), tayangan Bussseeet ! di TV7 (20/3/2005 dan 18/5/2005), Majalah MataBaca (“Episto Ergo Sum : Saya Menulis Surat Pembaca Karena Saya Ada !,” Oktober 2005), Mingguan Seputar Semarang (“Epistoholik Indonesia, Komunitas Penulis Surat Pembaca : Obat Ampuh Menghilangkan Stres,” 27 Juni 2006), Harian Media Indonesia (“Manusia, Radio, Dan Satu Gelombang,” 10 September 2006), Harian Republika (“Saya Ada Karena Surat Pembaca,” 21 April 2007) dan Harian Kontan (“Jurnalisme Warga Epistoholik,” 29 Mei 2007).

Juga menjadi isi mata acara Saga yang disiarkan secara nasional oleh Jaringan Kantor Berita Radio 68H Jakarta (6/11/2006) dan Saga Interaktif di Radio Utan Kayu, Jakarta (11/12/2006).

Opini saya tentang masa depan sepakbola Indonesia dikutip harian The Straits Times (Singapura), 17/1/2005, saat diwawancarai di Final Piala Tiger 2005, Leg 2, di Stadion Changi, Singapura (16/1/2005). Berbunyi : “The Future Still Bright : The future is still bright. Peter Withe is a good coach and motivator. We can bounce back.”

Artikel saya yang mutakhir berjudul “Benturan Peradaban : Promo Islam Lewat Lelucon” dimuat di harian Kompas (18/11/2005 : h. 14) dan “Komedi dan Komedian : Kejujuran Mengolok Diri Sendiri” dimuat di harian Kompas (27/1/2007 : h. 14).

Liputan media maya tentang epistoholik dan Epistoholik Indonesia :

  • Citizen Journalism, Dari Epistoholik Ke Blogosphere.

  • Episto Ergo Sum oleh Wisnu Martha, pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Gajah Mada.

  • “Epistoholik = Jurnalisme Warga, Dari, Oleh, dan Untuk Warga” : Wawancara dengan Effendi Gazali, pakar komunikasi Universitas Indonesia.

  • Mengulik Dunia Kaum Epistoholik.

  • Surat Pembaca, Bagian dari Eksistensi Masyarakat yang Demokratis : Profil Bambang Haryanto.



  • Situs blog di Internet :
    Epistoholik Indonesia (http://episto.blogspot.com/).
    Email : humorliner (at) yahoo.com.
    Milis : epistoholik-indonesia@yahoogroups.com

    Slogan Epistoholik Indonesia : episto ergo sum, saya menulis surat pembaca karena saya ada. Merupakan plesetan dari cogito ergo sum, saya berpikir karena saya ada, dari filsuf dan matematikawan Perancis, Rene Descartes, 1596–1650.

    Image hosted by Photobucket.com
    Deklarasi Epistoholik Indonesia Di MURI : Presentasi Bambang Haryanto di Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai pencetus komunitas Epistoholik Indonesia. Sekaligus pada hari ulang tahun ke-15 MURI tersebut, 27 Januari 2005, warga Epistoholik Indonesia memproklamasikan tanggal yang sama sebagai Hari Epistoholik Nasional.

    Nampak dalam foto (ki-ka) : Suprayitno, Joko Suprayoga (keduanya warga EI), Paulus Pangka (Manajer MURI), Ismunandar SC (Warga EI), Bambang Haryanto dan Jaya Suprana, pendiri MURI. Pendiri MURI dalam kesempatan tersebut berkata, "gagasan (komunitas kaum epistoholik) merupakan ide terbaik yang masuk MURI tahun ini !" (Foto : Ayu Permata Pekerti/Republik Aeng-Aeng, Solo).

    Apa itu epistoholik ? Istilah epistoholik berasal dari majalah TIME (6 April1992), yang berarti orang yang kecanduan menulis surat-surat pembaca, untuk menjuluki Anthony Parakal (saat itu 72 tahun), warga Evershine Nagar, Mumbai, India, karena prestasi hebatnya menulis surat-surat pembaca di pelbagai surat kabar sebanyak 5.000 lebih surat berbahasa Inggris.

    Parakal menulis surat-surat pembaca sejak tahun 1955. Prestasinya kemudian terukir dalam Limca Book of Records (sejak 1990), Guinness Book Of World Records (1993, edisi India), dan masuk majalah TIME tadi. Istilah itu merupakan paduan dari kata “epistle”, yang berarti surat dan imbuhan “oholic” yang berarti kecanduan.

    Kilas Balik Epistoholik Indonesia. Hari Jumat, 10 April 1992, saya yang saat itu berdomisili di Jakarta, mengunjungi Perpustakaan American Cultural Centre (ACC) yang terletak di Wisma Metropolitan II, Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta.

    Saya memang secara rutin berkunjung ke perpustakaan ACC ini, dan saat itu ketika membaca-baca aneka majalah, saya tertarik paparan majalah TIME (6/4/1992) mengenai sosok tokoh penulis surat pembaca asal India, Anthony Parakal. Artikel menarik itu lalu saya fotokopi. Sayang sekali, fotokopi itu saat ini tak lagi saya punyai. Tetapi yang pasti, peristiwa ini telah saya catat dalam buku harian saya. Sejarah kecil EI itu pun bergulir.

    Pada hari Rabu, 22 April 1992, karena kebelet ingin menularkan sosok Anthony Parakal itu, saya telah mengirimkan surat dan fotokopi kisahnya di majalah TIME itu kepada 3 (tiga) orang yang sering namanya saya jumpai dalam kolom surat pembaca. Mereka adalah : Bapak Soeroyo (Solo), Haji G. Malikmass (Jakarta) dan Lucas Sumanto (Jakarta).

    Pada hari Sabtu, 25 April 1992, surat dan fotokopi kisah Anthony Parakal itu saya kirimkan kepada Bapak dr. Willie Japaris (Jakarta). Esoknya, 26 April 1992, kepada Bapak Drs. Sunarto Prawirosujanto (Jakarta) dan Ir. Bambang Hesti (Semarang). Bahkan pada hari Kamis, 30 April 1992, saya kirimkan surat mempromosikan epistoholiknya Pak Anthony Parakal itu kepada bintang film/sutradara yang kini jadi politisi : Sophan Sophiaan.

    Hari Jumat, 1 Mei 1992, ketika main ke Toko Buku Rawamangun, saya menemukan majalah TIME (4 Mei 1992) yang memuat beragam komentar pembaca mengenai Anthony Parakal. Artikel ini tidak saya fotokopi dan saat ini saya tidak ingat apa isi persis informasinya.

    Impian saya tahun 1992, yaitu keinginan membentuk komunitas penulis surat pembaca gagal saya ujudkan saat itu. Pada tahun 1994, tepatnya tanggal 14 Februari 1994, saya menulis lagi surat pembaca di majalah Tempo. Judulnya "Kaum epistoholic, bersatulah!" Ajakan saya itu tidak bersambut.

    Ketika dalam masa pasif itu ternyata ide saya tersebut dicaplok oleh seseorang bernama Erwin, SH, dari Medan. Ia menulis surat pembaca, persis isi surat pembaca saya, tetapi hanya beda penyebutan nama organisasi para penulis surat pembaca yang ingin ia dirikan.

    Ia pun mengirimi saya surat, di mana dalam rancangan daftar personil pengurusnya dirinya tampil sebagai ketua. Saya lupa apa jabatan saya dalam organisasi itu. Tetapi bukan ketua. Yang sangat menyedihkan, dengan organisasi baru itu Erwin berencana mengirimkan proposal ke Sekretariat Negara, yang saat itu menterinya dijabat oleh Murdiono. Inti isi proposalnya adalah, apa lagi, kalau bukan minta bantuan dana. Gagasan yang sungguh bertentangan dengan cita-cita dan nurani saya.

    Komunitas penulis surat pembaca yang saya impikan adalah komunitas yang hadir sebagai salah satu pilar penegakan demokrasi Di Amerika Serikat, menurut Emanuel Rosen dalam bukunya The Anatomy of Buzz (2000), mengutip hasil penelitian lembaga riset Roper Starch sejak tahun 1940-an, bahwa para penulis surat pembaca di AS tergolong sebagai the influential Americans, orang-orang Amerika yang berpengaruh.

    Mereka terlibat dalam kegiatan publik, memiliki komitmen sosial, mengamati, mencerna, berpikir, dan kemudian berani menyuarakan gagasan dan aspirasinya melalui media massa. Novelis Italia, Susanna Tamaro dalam novelnya Va’ Dove Ti Porte Il Cuore, sampai berkata : “Dan surat-surat pembaca itu. Tak hentinya aku mengagumi hal-hal yang ditulis dengan berani oleh orang-orang itu”.

    Saya mencita-citakan komunitas yang saya cintai ini warganya menulis secara independen, berprinsip “reward is in the doing” (pahala ternikmati ketika melakukan aktivitas menulis surat-surat pembaca), kritis, bernalar dan tajam, tetapi saat itu di tangan seorang Erwin rupanya harus rela merangkak, merendahkan diri demi imbalan uang, menyerahkan diri untuk terkooptasi oleh rejim Orde Baru yang sangat represif saat itu. Sokurlah, ide Erwin itu tidak menjadi kenyataan !

    Pada bulan Oktober 2003 saya berkenalan dengan teknologi blog, yaitu sarana publikasi jurnal atau buku harian secara elektronik di Internet. Perkenalan itu memicu kembali cita-cita saya untuk mendirikan komunitas Epistoholik Indonesia. Saya yakin, kegetolan menulis surat pembaca bila dipadukan dengan teknologi blog di Internet akan mampu memberi otot dan bobot yang hebat bagi eksistensi Epistoholik Indonesia sebagai salah satu pilar demokrasi.

    Suatu kebetulan sejarah, setelah sebelas tahun kemudian saya kembali mengirim surat, mencoba mengenalkan Epistoholik Indonesia kepada Bapak Soeroyo (Solo). Saat tahun 1992, memang tidak ada balasan dari beliau. Tetapi tahun 2003, beliau membalas dan berkenan bergabung dalam Epistoholik Indonesia.

    Bahkan bulan Desember 2003, beliau mendapat penghargaan dari Republik Aeng-Aeng karena selama tahun 2003 telah menciptakan rekor, menulis 39 surat pembaca sepanjang tahun 2003 di Harian Solopos (Solo). Dalam acara penyerahan piagam di Balai Soedjatmoko, Solo, saya bisa bertemu muka dengan Pak Soeroyo, walau kontak 22 April 1992 itu sama-sama tidak kita sadari saat itu. Pak Soeroyo baru saja memperoleh Anugerah Solopos Award 2005.


    Warga Epistoholik Indonesia. Komunitas EI kini menghimpun sebanyak 36 warga yang tersebar di pelabagai kota. Sebagian besar mereka saya (BH) kontak untuk bergabung. Ibaratnya mereka saya berikan lisensi kepercayaan dan rasa hormat untuk bergabung dalam komunitas Epistoholik Indonesia. Kota warga EI meliputi Bandung, Batang, Bojonegoro, Jatisrono, Jombang, Kaliurang, Karanganyar, Kendal, Magelang, Malang, Purwodadi, Salatiga, Semarang, Solo, Sragen, Yogyakarta, Wonogiri, dan bahkan Melbourne (Australia). Usia warga EI beragam, dari Eric Levi Siranda, 20 tahun, berasal dari Malang sampai Soeroyo (Solo) dan Hadiwardoyo (Kaliurang) yang usianya sudah di atas 80 tahun.


    Daftar Warga Epistoholik Indonesia : Ambijo (Kebumen), Andreas Adhy Aryanto (Purwodadi), Ary Yudhianto (Semarang), Asrie M. Iman (Jakarta), Bambang Haryanto (Wonogiri), Danny Herwindo (Surabaya), Darmawan Soetjipto (Jakarta), Dion Desembriarto (Yogyakarta), Djoko Widodo (Bandung), E. Musyadad (Jombang), Eric Levi Siranda (Malang), F. Pudiyanto Suradibroto (Jakarta), F.S. Hartono (Yogyakarta), FX Triyas Hadi Prihantoro (Solo), Hadiwardoyo (Kaliurang), H. Soerodjokartono (Bandung), Hanung Kuncoro (Sukoharjo), Hariyanto Imadha (Bojonegoro, terhitung 8 Maret 2009 mengundurkan diri,tetapi ia membuat milis baru yang tetap menggunakan nama "Epistoholik Indonesia" dengan alamat : http://groups.yahoogroups.com/group/epistoholik_indonesia),

    Harry Respatie Wiyono (Sragen), Hayu Pratidina (Magelang), Herman Tony (Yogyakarta), Ismunandar C. Suryosedono (Salatiga), Jaja Suharja (Serang), Joko Prihharjanto (Jatisrono, Wonogiri), Joko Suprayoga (Kendal), Kukuh Widyatmoko (Malang), Lasma Siregar (Melbourne, Australia), L. Ismail Lubis (Wonogiri), M. Fahrudin Hidayat (Batang), Moegono (Solo),

    Mustikaningsih (Solo), Nurfita Kusuma Dewi (Semarang),Pradiko Reksopranoto (Yogyakarta), Purnomo Iman Santoso (Semarang), Siti Jazimah (Magelang), Soeroto (Pekalongan), Soeroyo (Solo), Sri Hastuti (Wonogiri), Suprayitno (Semarang, dianggap mengundurkan diri dan dicabut lisensi kepercayaan untuknya karena ia mendirikan organisasi serupa tanpa pernah membicarakan isu tersebut sebelumnya), Tatang Sumirat (Bandung), Thomas Sutasman (Cilacap), Udji Prijatno (Kebumen),Umar Yuwono (Sukoharjo) dan Wahyu Priyono (Karanganyar).


    (Bersambung ke : Visi dan Misi Epistoholik Indonesia)

    Visi Dan Misi Epistoholik Indonesia.

    Epistoholik Indonesia (EI) digagas sebagai komunitas dan wahana jaringan antarpenulis surat-surat pembaca se-Indonesia. Melalui wahana ini antarpenulis surat pembaca dapat saling mengenal, kemudian dalam semangat asah-asih-asuh saling menyemangati sesamanya untuk menghasilkan karya surat-surat pembaca yang kritis dan bermanfaat bagi masyarakat.


    Empat Impian “Memindahkan” Himalaya Melalui Surat Pembaca. Ada 4 (empat) impian yang tergantung di bintang-bintang cakrawala komunitas Epistoholik Indonesia.

    Pertama, menjadikan komunitas EI ini sebagai salah satu pilar kehidupan berdemokrasi. Setelah terbungkam selama 32 tahun, kini saatnya rakyat harus berbicara. Lantang. Menyuarakan aspirasi sampai protes. Komunitas kami selalu mendorong warganya untuk cerewet, dengan menulis dan menulis, sehingga atmosfir demokrasi selalu gaduh dan riuh. Seperti kata James Buchanan, “saya suka gaduhnya demokrasi”, itulah pula cita-cita kami.

    Dalam berinteraksi dengan media cetak, di tengah revolusi dunia digital yang terjadi, kami sedang berusaha mencari peran yang lebih progresif untuk menyuarakan aspirasi pembaca. Kalau selama ini media internet, radio dan televisi relatif menempatkann audiens sebagai isi secara lebih signifikan, hal itu belum banyak terjadi dalam media cetak. Mengingat media cetak selama ini terlalu journalist-centered, berpendekatan top-down, kini kami sedang mengetuk-etuk pintu mereka. Seru kami, “libatkan kami, jadikan kami sebagai sumber diskusi koran Anda, karena itu bermakna bagi masyarakat kami !”, sesuai tesis dari Dan Gillmor, pelopor citizen journalism yang kini marak di Amerika Serikat.

    Niatan kami tersebut seiring pernyataan Gregory P. Gerdy, pakar Internet dari Dow Jones, dalam buku suntingan Mary J. Cronin (ed.), The Internet Strategy Handbook : Lessons from the New Frontier of Business (Harvard Business School Press, 1996), yang menegaskan bahwa Internet telah merombak proses penerbitan yang selama ini ada.

    Dalam penerbitan cetak tradisional, aktivitas penciptaan informasi, produksi, distribusi dan konsumsi informasi, terjadi secara terpisah-pisah. Tetapi di Internet, semua proses itu terintegrasi dalam satu sistem. Terutama harus didaulatnya informasi dari para konsumennya sebagai bagian integral isi situs itu sendiri.

    Perubahan konteks maha vital tersebut yang ingin kami eksploitasi, guna mampu menempatkan pembaca sebagai bagian integral isi (content) media bersangkutan. Bila tidak, maka pastilah koran bersangkutan bakal terancam ditinggalkan !

    Sinergi antara peran kaum epistoholik dengan media-media baru berbasis digital berpeluang merombak eksistensi isi media secara revolusioner. Kita tahu, orang-orang yang belum mempunyai mindset dunia digital pasti berpikir bahwa iklan atau berita di media berbasis atom, alias kertas, merupakan terminal akhir suatu informasi. Padahal, agar pesan informasi tersebut makin komprehensif dan tidak bias, pemuatan itu hanyalah awal.

    Lanjutannya adalah percakapan, interaksi langsung, antara pencetus dengan konsumen informasi. Disinilah dunia digital kemudian tampil mengambil peran vital. “Markets are conversations”, begitu kredo Rick Levine, Christopher Locke , Doc Searls dan David Weinberger dalam Cluetrain Manifesto : The End of Business as Usual (1999), manifesto baru dan radikal untuk dunia bisnis dalam era digital.

    Percakapan itu tidak hanya antara wartawan dan pembaca (sementara di Indonesia kebanyakan wartawan ogah berdiskusi, ogah membalas email yang dikirimkan pembaca !), tetapi juga antarpara pembaca itu sendiri. Dinamika interaksi antarpembaca atau antarwarga itu belum disadari pentingnya oleh kebanyakan para pengambil keputusan dan pemilik media.

    Sekadar contoh, baru-baru ini Presiden SBY mengenalkan layanan pesan singkat (SMS) untuk menerima keluhan atau pengaduan dari rakyat. Pengejawantahan kehidupan berdemokrasi di negara kita memasuki wajah baru yang boleh dibilang menggelikan. Dengan jempol untuk memijit tombol-tombol telepon seluler, baik rakyat atau pun penguasa, kini secara teoritis saling dimudahkan untuk berinteraksi, mewujudkan mekanisme checks and balances terhadap jalannya roda pemerintahan.

    Selamat datang : Jempolkrasi !
    Efektifkah ?

    Pengiriman SMS semacam ini hanya berlangsung antara kedua belah fihak. One-to-one. Informasi yang dikirimkan praktis hanya kedua belah fihak itu yang mengetahui. Isi SMS yang tertuang juga hanya dalam ratusan karakter huruf, praktis tidak cukup untuk menguraikan suatu masalah yang kompleks. Rakyat hanya terkondisikan untuk mengadu, mengeluh, tetapi terkendala dalam memberikan solusi. Belum lagi masalah yang menyangkut kredibilitas identitas pengirim dan isi pesan yang ia sampaikan, tentu menambah kerepotan tersendiri bagi fihak pemerintah.

    Di luar kendala praktis di atas, komunikasi antara warga dengan penguasa melalui jalur SMS berpeluang dimanipulasi, untuk menyembunyikan, mendistorsi atau mempeti es-kan isu yang muncul. Karena kontak terjadi secara tertutup, penguasa dapat memilih isu-isu yang populis, yang mudah dikerjakan dan mampu mendongkrak citranya. Tetapi menyingkirkan isu-isu penting tetapi peka atau merugikan fihaknya. Penyebabnya, sejak awal isu yang disampaikan warga tidak diketahui secara terbuka, tidak menjadi subjek pantauan publik atau masyarakat luas.

    Steven L. Clift dalam makalahnya bertopik membangun demokrasi berbasis Internet, mengambil kasus proyek Minnesota E-Democracy (1996), berpendapat bahwa pola komunikasi antarwarga secara many-to-many yang difasilitasi Internet berbeda dari pola media massa yang one-to-many (broadcast), atau one-to-one model SMS-nya SBY, memungkinkan meningkatnya partisipasi warga dalam berdemokrasi.

    Komunikasi antarwarga mampu membangun jaringan masyarakat di mana semakin banyak warga dapat saling mendengar aspirasi warga lainnya, mempunyai suara dalam menetapkan agenda, dan meningkatkan kemampuannya untuk memberikan kontribusi guna memecahkan problema yang muncul di masyarakatnya.

    Sederhananya, melalui komunikasi berbasis Internet diibaratkan terciptanya ruang pertemuan masyarakat yang selalu terbuka sepanjang hari, di mana gagasan-gagsan, agenda, tokoh-tokoh, minat dan keyakinan berbaur secara dinamis. Mereka menciptakan arena untuk menampung ekspresi masyarakat, pengembangan opini dan akuntabilitas.

    Hanya dengan transparansi secara elektronik semacam membuat gerakan kampanye ramai-ramai mengirim SMS kepada pejabat pemerintah tidak terancam macet hanya sebagai fads, mode semusim, sok modis, demen nyar, seremonial belaka, sok teknologis dan sok populis. Melainkan aksi yang benar-benar terencana kelanjutannya, mempunyai akuntabilitas tinggi karena mudah diawasi masyarakat tiap harinya, sehingga memiliki kredibiltas tinggi di mata warganya.


    Kedua, komunitas Epistoholik Indonesia mempromosikan pentingnya keterampilan menulis, yaitu melahirkan gagasan dalam bahasa, terutama bagi generasi muda Indonesia. Kami kecewa berat terhadap luaran produk pendidikan Indonesia yang kebanyakan tidak cakap dalam menulis, bahkan menulis surat lamaran pekerjaan pun mereka tidak mampu.

    Hasil penelitian dari lembaga NAEP (National Assessment of Educational Progress) di AS menyatakan, setiap anak didik itu memiliki kemampuan relatif sama dalam menyerap informasi, tetapi hanya sedikit yang mampu belajar memanfaatkan informasi-informasi itu secara efektif dalam berpikir dan bernalar. Jadi semakin terampil anak didik dalam menulis dan semakin banyak mereka menulis, akan semakin mengasah mereka menjadi intelektual yang pemikir. Kalau mayoritas generasi terdidik kita tidak menulis, artinya tidak juga berpikir, maka menurut logika filsuf Rene Descartes, “saya berpikir maka saya ada” (cogito ergo sum), maka bangsa Indonesia ini bisa dianggap tidak ada.

    Kami mendorong generasi muda untuk menulis surat pembaca. Karena menurut pengalaman empiris kami, menulis surat pembaca itu memicu kecanduan. Bisa menulis saja itu sudah mencandu, dan bila dimuat kita membayangkan gagasan kita dibaca ribuan orang, apalagi kalau nanti mendapatkan tanggapan. !


    Ketiga, membangun dan memfasilitasi dialog lintas generasi. Sebagian warga komunitas kami adalah para warga senior, pensiunan. Menurut pandangan kami, di Indonesia kini ada jutaan kaum pensiunan sebagai sumber ilmu pengetahuan, pengalaman sampai kearifan, yang terbengkalai. Kita berpacu melawan waktu, bagaimana harta karun berharga mereka dapat didialogkan dengan generasinya yang lebih muda.

    Kami di EI, telah mendokumentasikan surat-surat pembaca mereka di situs-situs blog di Internet, sehingga mudah diakses setiap saat dan di mana pun pengakses berada. Impian pribadi saya, di masa depan nanti pada setiap panti wreda, panti jompo atau organisasi wredatama, ada fasilitas komputer yang tersambung di Internet. Kemudian generasi muda mengajukan pertanyaan, dan kemudian jaringan kaum senior ini memberikan tanggapan.

    Dinamikanya seperti segmen “Ask the Audience” dalam kuis Who Wants To Be A Millionaire, yang kedigdayaannya seperti diungkap oleh James Surowiecki, kolumnis majalah The New Yorker, dalam bukunya The Wisdom of Crowds : Why the Many Are Smarter Than the Few and How Collective Wisdom Shapes Business, Economies, Societies and Nations (2004). James Surowiecki menegaskan bahwa kecerdasan kolektif kerumunan diyakini menghasilkan luaran yang lebih baik dibanding hasil olah pikir sekelompok kalangan ahli.

    Himpunan opini mereka tersebut disusun menurut peringkat, dan silakan penanya tadi untuk memilihnya. Hal sebaliknya juga dimungkinkan terjadinya dialog antarmereka ketika generasi senior justru bertanya kepada para juniornya. Teknologi semacam untuk mendorong kehidupan demokrasi telah dipelopori oleh organisasi civil liberties, MoveOn.org di Amerika Serikat.


    Keempat, memberdayakan setiap insan sebagai sumber pengetahuan dan kearifan yang terintegrasi dalam jaringan untuk kesejahteraan kehidupan bersama. Saya impikan, EI kelak akan seperti amuba, yang membelah dan terus membelah. Saya impikan, misalnya si A akan mandiri untuk menghimpun para penulis surat pembaca khusus topik X, si B melakukan hal sama dengan spesialisasi topik Y, dan begitulah seterusnya.

    Epistoholik Indonesia bercita-cita menghimpun street smart intellectuals, cendekiawan jalanan. Karena masing-masing orang, menurut saya, adalah cendekiawan. Hanya karena keterbatasan media untuk berekspresi, membuat gembolan, ilmu simpanan, baik pengetahuan, pengalaman sampai wisdom milik mereka, sulit keluar atau diaktualisasikan, sehingga akhirnya tidak diketahui orang lain. Mungkin hanya jadi bahan omongan, juga tidak terdokumentasikan, sehingga akhirnya mudah hilang ditelan jaman.

    Kini, gempa bumi di bidang sosial dan ekonomi sebesar 10,5 skala Richter (idiom dari Nicholas Negroponte) telah terjadi. Itulah Internet. Berkat Internet, terutama blog, setiap orang kini bisa menjadi penerbit di muka dunia. Jin itu kini bisa keluar dari botol. Kucing pun meloncat keluar dari karungnya. Setiap diri kita bisa ber-tiwikrama, mampu memproklamasikan ide dan uneg-unegnya ke seluruh dunia guna bersuara di persada dunia !

    Tulisan surat pembaca hanyalah puncak dari gunung es harta karun si penulisnya. Di bawah puncak itu sebenarnya tersembunyi khasanah ilmu pengetahuan, pengalaman dan kearifan tiap-tiap individu yang dapat digali dan dikomunikasikan.

    Sekadar contoh realisasinya, saya pribadi telah membangun gugusan situs blog pribadi. Silakan klik blog Buka Buka Beha : http://bukabeha.blogspot.com, dan Anda akan dipandu menuju belasan situs blog sebagai kebun-kebun tulisan yang memuat informasi dan gagasan yang dapat saya sumbangkan kepada dunia.

    Misalnya : pergulatan saya sebagai seorang epistoholik (dalam blog Esai Epistoholica : http://esaiei.blogspot.com), kritik dan gagasan saya seputar dunia komedi/pelawak Indonesia (Komedikus Erektus ! : http://komedian.blogspot.com), kesukaan saya terhadap lagu-lagu kelompok musik soft rock asal New Haven, Connecticut, AS, yaitu Carpenters (Close To You : http://undagi.blogspot.com), buku-buku yang saya baca (Kubu Kutu Buku : http://kutubukuku.blogspot.com), dinamika sebagai suporter sepakbola Indonesia (Suporter Indonesia : http://suporter.blogspot.com), wanita terindah yang telah pergi (Song For Anez : http://song4anez.blogspot.com), kampanye anti rokok (Bersihkan Udara Bebas Asap Rokok/B.U.B.A.R ! : http://bubar.blogspot.com) sampai berita keluarga besar saya (Trah Martowirono : http://trah.blogspot.com).


    Dalam World Summit on Information Society (WSIS) II di Tunisia (16-19/11/2005) telah tercetus kredo, “apabila Anda tidak dapat berekspresi maka eksistensi Anda dianggap tidak ada”

    Merujuk hal eksistensial itu maka semua warga EI saya dorong untuk memulai hal yang sama : berternak blog di Internet sebagai sarana menulis, mengaktualisasikan diri dan mempublikasikannya sehingga mampu memberikan kontribusi kepada sesama. Kalau selama ini para penulis surat pembaca ibarat tali pusarnya, umbilical cord, selalu tersambung kepada media massa, maka kehadiran blog mampu membuat penulis-penulis surat pembaca memutus tali pusar tersebut. Ibarat bayi, terputusnya tali pusar tersebut merupakan prasyarat untuk menuju kedewasaan, kemandirian dan kemerdekaan.

    Memanglah, di Internet warga EI tersebut ibarat pulau-pulau cendekia, yang kecil-kecil, banyak, tetapi bisa saling tersambung dan tanpa hirarki. Kita semua terikat dalam adhocracy atau organisasi tanpa struktur. Di jaman Orba mungkin itu yang disebut sebagai OTB, organisasi tanpa bentuk. Satu sama lain lepas-lepas tetapi saling berhubungan, dipandu kesamaan visi dan tujuan. Kejayaan Hollywood merupakan ujud dan bukti kesaktian organisasi tanpa struktur ini.

    Selanjutnya pulau-pulau cendekia itu diharapkan membentuk gugus-gugus cendekia yang memiliki minat sama. Semua gugus itu, juga gugus minat yang lainnya, saling terhubung dalam suatu jaringan maya. Di mana seseorang yang membutuhkan informasi sampai bimbingan tertentu akan dirujuk kepada ahlinya, sekaligus “kebun-kebun” tulisannya, atau bahkan berdiskusi dengan yang bersangkutan beserta komunitasnya. Inilah aplikasi dari manajemen ilmu pengetahuan (knowledge management) yang diterapkan untuk masyarakat luas.

    Kalau dalam konstelasi media cetak kita terbiasa untuk tergantung kepada opini yang ditulis satu-dua orang pakar, di Internet pakar itu bisa banyak. Hal ini jelas memberikan lebih banyak sudut pandang, karena seringkali pencari solusi lebih mencari perspektif dibanding solusi yang baku.

    Gambaran di atas tersebut senada dengan visi pakar Internet, David Weinberger, yang baru saja ikut membidani revolusi kampanye presiden di AS untuk bekas Gubernur Vermont, Howard Dean (Demokrat). Dalam bukunya Small Pieces, Loosely Joined (Perseus, 2002), ia menyimpulkan : situs web itu hanyalah ujud lain dari seutas benang dan kaleng. Tetapi situs web (dan kini juga blog) tidak lain adalah diri kita sendiri.

    Pulau-pulau cendekia yang kecil-kecil itu berdampak dahsyat bila tergabung dalam sebuah jaringan. Akumulasi pengetahuan, pengalaman (terlebih lagi, seperti kata ibu Asrie M. Iman, epistoholik senior dari Jakarta, pengalaman yang hanya bisa didapatkan melalui perjalanan waktu), keahlian sampai kearifan, nantinya berharga sebagai rujukan atau pos informasi tempat kita untuk saling bertanya, meminta nasehat, berbagi informasi, saling menyemangati dalam menempuh kehidupan di dunia, yang dalam nyanyian Karen Carpenter disebut sebagai a restless world, dunia yang gelisah.

    Dunia yang gelisah, dunia yang membutuhkan nubuat nabi-nabi. Di tahun 1970-an duo legendaris Simon & Garfunkel dalam lagu “Sound of Silence” mencoba memberi petunjuk, berbunyi : the words of the prophets are written on the subway walls. Nubuat para nabi-nabi tertulis di tembok-tembok stasiun trem bawah tanah.

    Siapa tahu, di era blog dan Internet dewasa ini, akan ada penyanyi lain yang menggubah lagu dengan lirik baru, tentang nubuat nabi-nabi yang tertulis dalam kolom-kolom surat pembaca. Juga pada situs-situs blog masa kini.


    Jalan Itu Masih Jauh ? Tetapi satu-dua langkah harus mulai dikayuh. Saat ini, sebagai awal, saya yang kerja bakti membentuk pos induk awal, amuba pertama, bagi komunitas Epistoholik Indonesia ini. Bagi warga EI yang belum melek komputer dan buta Internet, bolehlah, saya yang mengetik kembali surat–surat pembaca mereka, menampilkannya di blog-blog di Internet, lalu merayu agar mereka mau main ke warnet, dan mari kita lihat apa yang kemudian terjadi.

    Tetapi bagi warga EI yang sudah melek Internet, saya ajak untuk mencoba mengenali blog, lalu melakukan aksi separatisme positif, yaitu mencoba belajar mengelola situs blog masing-masing secara mandiri. Kecintaan, cita-cita, makna semboyan episto ergo sum, dan tujuan mulia komunitas EI kita ini semoga tetap mampu mengikat kiprah-kiprah kita.

    (Bersambung ke : Lingua Epistoholica)

    Lingua Epistoholica : Kamus Kaum Epistoholik

    Dalam komunitas Epistoholik Indonesia dikenal pula lingo atau bahasa prokem untuk sesama warganya. Antara lain :

    epistoad : penulis surat pembaca yang berkelakuan mirip kodok, mengulang-ulang nyanyian, baik isi, tema dan sajian surat pembaca yang sama dalam kurun waktu berbeda.

    epistobrat : penulis surat pembaca yang kasar bahasanya.

    epistocenter : pusat gempa ide-ide dan aksi kaum epistoholik. Seringkali juga merupakan epistopolis.

    episto ergo sum : slogan atau semboyan kaum epistoholik yang berarti “saya menulis surat pembaca karena saya ada”. Semboyan modifikasi dari kata-kata terkenal filsul Perancis Rene Descartes (1596–1650), “cogito ergo sum” (saya berfikir karena saya ada) ini adalah hasil otak-atik Bambang Haryanto. Dipublikasikan pertama kali di kolom Redaksi Yth Harian Kompas Edisi Jawa Tengah, 5 Agustus 2004. Juga majalah Intisari, September 2004.

    epistogonia : surat-surat pembaca yang klise, tidak mengandung unsur-unsur pengetahuan atau pendekatan baru.

    epistolaureate : empu penulis surat pembaca. Contoh untuk kaliber maha empu adalah Anthony Parakal. Empu lainnya Darmawan Soetjipto, FS Hartono, F. Pudiyanto Suradibroto, Gandhi Sukardi, Hadiwardoyo, Haji G. Malikmass, Lucas Sumanto, Moedhakir Wirogoeno (alm), Moegono SH, Ir. R.M. Pradiko Reksopranoto, Rachmat Djoko Pradopo, Soeroyo, Suharsono Hadikusumo, Drs. Sunarto Prawirosujanto dan S. Mangoenatmodjo.

    epistolepsy : penyakit yang membuat seseorang epistoholik terlalu lama berhenti dari aktivitas regulernya.

    epistoluddite : penulis surat pembaca yang belum melek terhadap komputer dan Internet.

    epistomercial : surat-surat pembaca yang secara terselubung bermuatan pesan-pesan komersial.

    epistomnia : kaum epistoholik yang kesulitan tidur di waktu malam karena terobsesi untuk gencar menulis surat-surat pembaca. Sumbangan Anton, penyiar radio Ria FM Female, Solo, 9 April 2005.

    epistoparakalitis : penulis surat pembaca yang mengidap “penyakit Parakal”, gejalanya gencar dan mengamuk dalam menulis dan mengirimkan surat-surat pembaca.

    epistop gun : penulis surat pembaca yang getol melakukan satu tembakan dengan multi sasaran. Satu surat pembacanya dikirimkan untuk banyak media.

    epistophobia : ketakutan yang tidak masuk akal terhadap surat-surat pembaca. Biasa diidap oleh kalangan birokrat yang korup.

    epistopolis : kota “suci” yang menjadi kiblat kaum epistoholik karena menjadi domisili tokoh epistoholik dan jadi epicenter, pusat gempa penyebaran ide-ide dan aksi kaum epistoholik. Misalnya Mumbai (India) yang menjadi domisili Anthony Parakal dan Wonogiri, domisili Bambang Haryanto, pencetus komunitas Epistoholik Indonesia.

    epistopreneur : penulis surat pembaca yang karyanya dimanfaatkan untuk menunjang suksesnya dalam berwirausaha secara bijak dan terukur. Tetapi bila terlalu menonjolkan sisi komersial, hingga terjebak menjadi epistomercial hal itu dikuatirkan justru akan merugikan usahanya sendiri.

    epistosaurus rex : penulis surat pembaca yang tidak mengurus, tidak memperbarui (up-date) koleksi surat pembaca di situs blognya di Internet secara periodik. Yang bersangkutan juga pasif dalam membina interaksi dengan sesama warga komunitas epistoholik. Yang bersangkutan dikuatirkan sebagai spesies epistoholik yang diambang kepunahan. Situsnya sendiri disebut epistomb.

    epistown : kota domisili kaum epistoholik, tetapi belum bertaraf sebagai epistopolis.



    Surat-Surat Pembaca Di Mata Mereka


    Anthony Parakal (72 tahun), warga Evershine Nagar, Mumbay, India, yang telah menulis surat pembaca di pelbagai surat kabar dunia sebanyak 5.000 surat berbahasa Inggris.

    Ia telah menulis surat-surat pembaca sejak tahun 1955. Pada tahun1998, menurut Indian Express Newspapers (Bombay), Anthony Parakal telah dinominasikan sebagai Tokoh Tahun 1998 (Man of the Year) oleh American Biographical Institute. (http://www.indianexpress.com/ie/daily/19981214/34850634.html).

    Profil dirinya telah dimuat dalam Limca Book of Records (from 1990 onwards) dan juga dalam terbitan bergengsi Guinness Book Of World Records (1993, Indian Edition), selain muncul dalam majalah internasional TIME (April 6 and May 4, 1992) atas prestasi dan komitmen sosialnya :

    · “Menulis surat menjadi obsesi diri saya dan tak ada hari yang terlewat tanpa melihat nama saya, sekurang-kurangnya dalam tiga buah surat pembaca yang muncul dalam terbitan surat kabar. Hal ini karena keyakinan saya terhadap dampak dahsyat suatu media yang saya pilih untuk mengemukakan isu-isu tersebut”

    · (Walau Anthony Parakal menghargai surat-surat penghargaan yang dikirimkan beberapa Perdana Menteri India, seperti Gulzari Lal Nanda, Morarji Desai, Indira Gandhi, Rajiv Gandhi, atas prestasinya, ia merasakan kepuasan yang lebih besar apabila fihak yang berwenang menanggapi segera keluhannya.). "Baru-baru ini, setelah surat saya dimuat yang menyuarakan keluhan saya tentang tiadanya lampu penerangan jalan di Evershine Nagar, maka fihak yang terkait segera menanggapi dan usulan saya itu pun segera menjadi kenyataan”

    · “Dengan tuntutan harus menghidupi keluarga yang terdiri dari lima orang, saya seringkali tidak memiliki uang untuk membeli perangko guna mengirimkan surat-surat pembaca saya. Cara mengatasinya, saya langsung datang ke kantor koran bersangkutan untuk menyerahkan surat pembaca saya apabila saya pandang isinya penting untuk bisa dimuat dalam terbitan esok hari“

    · “Saya telah menulis pelbagai topik, di antaranya seperti korupsi, kemiskinan, dan AIDS. Topik yang paling saya minati adalah mengenai penyakit lepra dan persenjataan nuklir” (By: Pooja Kumar / http://web.mid-day.com/metro/malad/2003/november/68003.htm).

    · (Kegetolannya menulis surat pembaca tidak hanya berbuah sebagai obsesi, tetapi juga menghabiskan biaya sekitar Rs 1 lakh per surat dan kadang pertengkaran dengan keluarganya, terutama istrinya.) “Kedua anak perempuan dan anak lelaki saya bisa memahami, tetapi istri saya ketika bertengkar seringkali mengancam akan membakar 15 map arsip berisikan himpunan surat-surat pembaca saya”

    · "Saya bercita-cita menghimpun semua koleksi surat pembaca saya dalam bentuk buku yang sudah ada judulnya, yaitu So Far So Bad dan kini saya sedang mencari sponsor untuk penerbitannya. Ada beberapa sponsor yang berminat, tetapi mereka menginginkan agar beberapa surat saya yang mengeritik pemerintah untuk dibuang. Saya menolak untuk berkompromi”(http://ww1.midday.com/mumbaikar/2003/november/68421.htm).


    Bimo Wijoseno, wartawan majalah Intisari, Jakarta.

    “Saya sendiri paling senang membaca surat pembaca. Biasanya saya baca paling pertama.” (Email ke Bambang Haryanto/Epistoholik Indonesia, 31/3/2004).


    Herman Tony, kolumnis, praktisi pariwisata (perhotelan) Yogyakarta. Warga Epistoholik Indonesia.

    · “Saya suka dan sering menulis surat pembaca, rubrik bisnis dan artikel opini di harian lokal Yogyakarta, yaitu Harian Bernas dan Kedaulatan Rakyat. Malahan harus saya katakan bahwa melalui surat pembaca saya pertama kali mensosialisasikan pikiran dan / atau tanggapan saya atas masalah aktual yang ada di masyarakat terutama memiliki keterkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan pariwisata di tanah air umumnya dan pariwisata Yogyakarta khususnya.” (Emailnya ke Bambang Haryanto / Epistoholik Indonesia, 2/4/2004).


    Lasma Siregar, petualang, TKI, penulis, petani dan seniman Indonesia yang kini tinggal di pedalaman Melbourne, Australia. Warga Epistoholik Indonesia.

    · Di Australia, sebuah surat pembaca harus ada nama, alamat, nomer phone-nya. Penulis dikontak, apakah benar-benar ada yang bernama A di A dan yang ditulisnya bisa dibenarkan. Soalnya terkadang apa yang ditulis begitu bermutu untuk diselidiki dan akhirnya jadi berita.

    Pernah seorang rakyat kecil bernama A melihat ditepi laut ada truck membuang sampah yang chemical dan berbahaya. Dia catat nama perusahaannya dan nomer truck lalu kirim surat pembaca. Ketika ditanya, mengapa ia tidak melaporkan polisi? Ia menjawab: Soalnya kalau menulis surat dirumah lebih tenang dan bisa lebih dipikirkan. Kalau melapor ke polisi, malah jadi ramai nggak karu-karuan. Polisi datang, tetangga pada ribut dan pengen tahu apa yang terjadi.

    Bagaimana di Indonesia? Apakah ada syarat-syarat yang wajib dipenuhi sebelum diterima Redaksi untuk dimuat? Bayangkanlah kalau tidak diperiksa, ada seseorang yang pakai 50 nama yang berbeda dan mengirimnya dalam 50 versi berbeda kepada 50 media? Orang-orang yang dikategorikan teroris bisa pakai surat pembaca buat kampanye desas desus yang berbahaya! (Emailnya tanggal 16/12/2003 kepada Bambang Haryanto).

    · “Banyak orang di Australia yang bilang mereka menemukan sesuatu yang benar dan menarik di lembaran surat pembaca. Yang ditulis rakyat biasa dengan bahasa sederhana tanpa banyak hiasan kata hampa.”

    · “Kata orang, kalau mau tahu New York bacalah surat kabar, majalah dan bukunya. Baca surat pembacanya ! Jantung kota New York berdebar dalam kehidupan rakyatnya, aroma jalanan dan ributnya pasar di tengah sibuknya manusia yang kian kemari.” (Artikel “Mengapa Wonogiri Bisa Jadi Markas JEI ?”, Mediakrasicom, 22/12/2003 / http://www.mediakrasi.com)


    Muti Siahaan, Pengelola Rubrik Muda, Harian Kompas

    · “Menulis adalah salah satu cara efektif untuk menunjukkan partisipasi kita. Tuangkan deh unek-unek kita dalam tulisan dan kirimkan tulisan itu ke media. Bentuknya sih macam-macam. Bentuk paling sederhana ya lewat surat pembaca. Kita bisa kirimkan ke koran atau majalah-majalah sosial politik. Atau bisa juga kita membuat sebuah karangan untuk dimuat di majalah dan koran. Tulis deh dari sudut pandang kita sebagai remaja. Misalnya nih, sekarang orang sedang ramai ngomong kampanye. Kenapa engga kita tulis karangan soal kampanye dari sudut pandang remaja. Seru lho. “(Kompas, 2/4/2004).


    Oey Tjong Hoo, Kutoarjo, penulis surat pembaca di harian Suara Merdeka.

    · “Tanpa adanya kolom surat pembaca, Suara Merdeka bak pedang kehilangan sarungnya, atau sayur tanpa garam. Terasa hampa !” (Beliau juga menyarankan agar para penulis surat pembaca itu diberikan kenang-kenangan, misalnya topi, kaos, jaket yang berlogo Suara Merdeka. Misalnya, dengan cara diundi.). (Surat Pembaca, Harian Suara Merdeka, 10/3/2004)


    Rosita Sihombing, simpatisan Epistoholik Indonesia, warga Indonesia yang tinggal di Paris, Perancis.

    · “Saya senang sekali membaca surat pembaca baik lewat Internet maupun media cetak, apalagi sejak saya tinggal di luar negeri, keinginan saya untuk membaca surat pembaca di media-media di Internet semakin tinggi ! Kadang-kadang saya malahan lebih memilih membaca surat-surat pembaca daripada berita-berita yang ditulis oleh wartawan, karena biasanya pesan-pesan dari penulis di surat pembaca lebih mengena dan saya rasa cukup objektif ! Misalnya, ketika ada satu topik yang sedang heboh yg terjadi di Indonesia, saya buka saya surat pembaca di media-media yang ada di Internet. Nah, dari tulisan-tulisan atau komentar-komentar para penulis surat pembaca saya bisa mengambil kesimpulan dari topik-topik yg sedang "in" di Indonesia ! “(Emailnya ke Bambang Haryanto, 11 Desember 2003 ).


    Soeroyo (80), wredatama Solo,Warga Epistoholik Indonesia

    · “Saya pegawai negeri sipil yang sudah pensiun tahun 1981. Setelah pensiun, post-power syndrome saya jauhi dan saya harus berani menghadapi kenyataan. Saya beristirahat total setiap hari, dari bangun tidur sampai tidur kembali yang sungguh menjemukan. Guna menghilangkan sebel, saya isi waktu dengan banyak mendengarkan siaran radio, banyak melihat tayangan TV serta banyak membaca apa saja yang bisa dibaca.

    · Apabila ada hal-hal yang tidak laras dengan pola pikir saya, maka saya mencoba menulis yang hasilnya saya kirimkan ke redaksi suratkabar, apa saja. Pertama saya kirimkan ke Sinar Harapan, yang kemudian berganti nama Suara Pembaruan yang saya menjadi pelanggannya. Ternyata tulisan-tulisan saya banyak dimuat, kemudian tulisan saya kirimkan juga ke Suara Merdeka, Surya, Bernas dan Solopos. Saya merasa senang kalau tulisan saya dimuat, sebab pasti akan dibaca oleh orang banyak. Rupanya inilah salah satu hiburan saya selaku manula wredatama/pensiunan.

    · Cukup banyak juga pembaca yang setuju dengan tulisan saya, namun ada juga yang sifatnya memberikan kritik membangun. Paham saya, agar pikiran ini tetap bekerja dan kreatif tidak loyo mengikuti jasmani yang usur di usia senja. Sangat ideal menerapkan TOPP baru, yakni Tua, Optimis, Prima dan Produktif, bukan TOPP lama yang kita kenal : Tua, Ompong, Pikun dan Peot.

    · Saya anjurkan pada para epistoholik muda supaya lebih gencar menulis yang positif. Semua itu bisa dijadikan sarana guna mencerdaskan anak bangsa. Semoga gagasan indah bisa terlaksana dengan baik. Amin. “ (Surat Pembaca, “Merintis Wadah Epistoholik”, di Harian Solopos, 5/12/2003)


    Susanna Tamaro dalam novelnya Pergilah Kemana Hati Membawamu (Va’ Dove Ti Porte Il Cuore) yang dimuat bersambung di Harian Kompas (10/3/2004) :

    · “Dan surat-surat pembaca itu. Tak hentinya aku mengagumi hal-hal yang ditulis dengan berani oleh orang-orang itu.”

    (Bersambung ke : Biodata Bambang Haryanto)

    Biodata Bambang Haryanto

    Bambang Haryanto adalah seorang blogger, penulis bebas, inkubator gagasan kreatif, dan intellectual hedonist. Berdomisili di Wonogiri. Menulis beragam artikel sejak tahun 1977. Lahir : Solo, 24 Agustus 1953. Anak pertama dari keluarga Kastanto Hendowiharso (TNI/AD) dan Sukarni (wiraswastawan).

    Menulis buku kumpulan humor Ledakan Tawa Dari Dunia Satwa (Andi, 1987), Bom Tawa Antar Bangsa (USA, 1987) dan Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati : Kesaksian Seorang Suporter Pasoepati (2004, belum diterbitkan).

    Memenangi lomba Honda The Power of Dreams Contest 2002 (PT Honda Prospect Motor) dengan esai impian berjudul, “The Power Of Dreams : Revolusi Mengubah Budaya Suporter Sepakbola Yang Destruktif Menjadi Penghibur Kolosal Yang Atraktif”. Kemudian profil dirinya sebagai suporter sepakbola ditayangkan dalam acara “The Power of Dreams 2002 Documentary” di TransTV (27/6/2002).

    Pada tahun 2004 dengan perannya sebagai pendiri komunitas Epistoholik Indonesia (EI) yang mengusung resolusi untuk membangun lebih dari situs blog untuk komunitas EI telah memenangi Mandom Resolution Award 2004 (PT Mandom Indonesia Tbk, Jakarta).

    Tercatat pertama kali di MURI tahun 2000 sebagai pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli.



    Situs-Situs Blog Yang Dikelola :


    Bambang Haryanto : (http://beha.blogspot.com/)
    Blog ini menghimpun surat-surat pembaca saya yang telah termuat di media massa. Himpunan surat-surat pembaca saya bulan-bulan terkahir belum termuat di blog ini.


    B.U.B.A.R. ! : Bersihkan Udara Bebas Asap Rokok : (http://bubar.blogspot.com/).
    Blog yang menghimpun opini dan surat pembaca yang mengkampanyekan anti rokok.


    Buka Buka Beha : (http://bukabeha.blogspot.com/).
    Merupakan situs blog induk, untuk memandu ke pelbagai situs blog lainnya.


    Close To You (http://undagi.blogspot.com/)
    “Close To You” adalah salah satu judul lagunya Carpenters. Saya menyukai duo penyanyi kakak beradik asal New Haven, Connecticut, AS ini. Situs yang baru diluncurkan bulan Agustus 2005 ini berisi cerita-cerita ringan seputar lagu-lagu mereka yang memberikan inspirasi dalam hidup ini.


    Episto Ergo Sum ! : (http://warei.blogspot.com/)
    Blog yang mendaftar warga Epistoholik Indonesia, baik dari Jakarta sampai Melbourne, Australia. Berisi anotasi mengenai motif mereka bergabung dalam EI, bio data dan judul-judul sebagian surat pembaca mereka. Dari masing-masing anotasi tersebut, dengan sekali klik (“Lebih lanjut...”) Anda akan diajak menjelajah ke situs blog masing-masing warga EI.


    Epistoholik Indonesia : (http://episto.blogspot.com/)
    Situs blog yang merupakan “gerbang” untuk mengenal komunitas Epistoholik Indonesia. Tercantum di sini visi dan misi EI, sejarah terbentuknya, dan pelbagai link untuk menuju blog-blog pendukung lainnya.


    Esai Epistoholica : (http://esaiei.blogspot.com/)
    Memuat esai-esai dinamika dan pergulatan hidup saya sebagai sebagai seorang epistoholik yang terkait dengan fenomena dan peristiwa aktual yang terjadi di masyarakat.


    Komedikus Erektus ! : (http://komedian.blogspot.com/)
    Saya suka humor. Untuk menunjang kemajuan dunia komedi di Indonesia, saya meluncurkan situs blog ini.


    Kubu Kutu Buku : (http://kutubukuku.blogspot.com/)
    Daftar anotasi mengenai buku-buku yang pernah dibaca sampai buku yang diimpikan untuk dibaca.


    Lingua Epistoholica : (http://lingepi.blogspot.com/)
    Inilah kamus yang menghimpun lingo atau bahasa prokem kaum epistoholik. Awas. Anda terancam berubah jadi epistomania, tahu tentang sosok epistop gun dan tak melupakan Wonogiri sebagai epistopolis-nya kaum epistoholik Indonesia.

    Poetrysolo : (http://poetrysolo.blogspot.com/)
    Saya menghimpun karya puisi anak-anak yang dimuat di Harian Solopos edisi Minggu. Dengan harapan, himpunan di media maya ini dapat sebagai pencingan agar anak-anak sudi berpuisi untuk dimuat di media Internet. Untuk maksud ini saya sudah belasan kali mengirim surat ke pelbagai sekolah, minta kiriman puisi anak didik mereka, ternyata belum berhasil. Saya belum tahu dimana letak kegagalan saya ini.

    Serba Serbi Surat Pembaca : (http://serbaserbi.blogspot.com/)
    “Menulis surat menjadi obsesi diri saya dan tak ada hari yang terlewat tanpa melihat nama saya, sekurang-kurangnya dalam tiga buah surat pembaca yang muncul dalam surat kabar.”, kata Anthony Parakal. “Dan surat-surat pembaca itu. Tak hentinya aku mengagumi hal-hal yang ditulis dengan berani oleh orang-orang itu.”, tulis Susanna Tamaro dalam novelnya Va’ Dove Ti Porte Il Cuore (Pergilah Kemana Hati Membawamu). Simak pendapat lainnya.


    Song For Anez : (http://song4anez.blogspot.com)
    Widhiana Laneza, atau Anez, aku mengenalnya sebagai mahasiswa Jurusan Arkeologi FSUI, 1982. Saya menyukai dirinya. Jatuh cinta kepadanya. Tidak berkelanjutan. Tetapi kenangan tentangnya tidak mudah hilang, walau sejak tahun 1988 saya tidak ada kontak sama sekali dengannya.

    Tanggal 22 Desember 2005, nama Anez tiba-tiba, secara menggetarkan, masuk orbit hidup saya lagi. Kakaknya, Verdi Amaranto, mengaku melalui Google ketika mengetikkan "Widhiana Laneza" dirujuk menuju blog saya Buka Buka Beha yang mengukir nama dia sebagai salah satu wanita terindah saya. Verdi Amaranto mengirimiku email, cerita bahwa pada tanggal 20 Desember 2005 Widhiana Laneza telah dipanggil kembali keharibaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tiga hari setelah pernikahannya.

    Untuk mengenang Anez, blog ini saya buat. Termasuk 7 web/blog yang terkait dengan Anez semasa hidupnya.


    Suporter Indonesia : (http://suporter.blogspot.com/)
    Menghimpun gagasan dan gerundelan sebagai salah satu suporter sepakbola Indonesia. Selain mengelola blog ini, ia juga menjadi kontributor majalah sepakbola freeKick, Jakarta.


    Trah Martowirono : (http://trah.blogspot.com/)
    Blog ini menghimpun berita dan kenangan acara pertemuan, atau reuni tahunan bagi keluarga besar Trah Martowirono, kakek saya dari garis ibu yang berasal dari Kedung Gudel, Kenep, sukoharjo.



    Alamat :

    Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612,
    Jawa Tengah, Indonesia.
    Telp : +6281329306300.
    Email : humorliner (at) yahoo.com




    Wonogiri, 3 Desember 2005