Thursday, February 16, 2006

Lingua Epistoholica : Kamus Kaum Epistoholik

Dalam komunitas Epistoholik Indonesia dikenal pula lingo atau bahasa prokem untuk sesama warganya. Antara lain :

epistoad : penulis surat pembaca yang berkelakuan mirip kodok, mengulang-ulang nyanyian, baik isi, tema dan sajian surat pembaca yang sama dalam kurun waktu berbeda.

epistobrat : penulis surat pembaca yang kasar bahasanya.

epistocenter : pusat gempa ide-ide dan aksi kaum epistoholik. Seringkali juga merupakan epistopolis.

episto ergo sum : slogan atau semboyan kaum epistoholik yang berarti “saya menulis surat pembaca karena saya ada”. Semboyan modifikasi dari kata-kata terkenal filsul Perancis Rene Descartes (1596–1650), “cogito ergo sum” (saya berfikir karena saya ada) ini adalah hasil otak-atik Bambang Haryanto. Dipublikasikan pertama kali di kolom Redaksi Yth Harian Kompas Edisi Jawa Tengah, 5 Agustus 2004. Juga majalah Intisari, September 2004.

epistogonia : surat-surat pembaca yang klise, tidak mengandung unsur-unsur pengetahuan atau pendekatan baru.

epistolaureate : empu penulis surat pembaca. Contoh untuk kaliber maha empu adalah Anthony Parakal. Empu lainnya Darmawan Soetjipto, FS Hartono, F. Pudiyanto Suradibroto, Gandhi Sukardi, Hadiwardoyo, Haji G. Malikmass, Lucas Sumanto, Moedhakir Wirogoeno (alm), Moegono SH, Ir. R.M. Pradiko Reksopranoto, Rachmat Djoko Pradopo, Soeroyo, Suharsono Hadikusumo, Drs. Sunarto Prawirosujanto dan S. Mangoenatmodjo.

epistolepsy : penyakit yang membuat seseorang epistoholik terlalu lama berhenti dari aktivitas regulernya.

epistoluddite : penulis surat pembaca yang belum melek terhadap komputer dan Internet.

epistomercial : surat-surat pembaca yang secara terselubung bermuatan pesan-pesan komersial.

epistomnia : kaum epistoholik yang kesulitan tidur di waktu malam karena terobsesi untuk gencar menulis surat-surat pembaca. Sumbangan Anton, penyiar radio Ria FM Female, Solo, 9 April 2005.

epistoparakalitis : penulis surat pembaca yang mengidap “penyakit Parakal”, gejalanya gencar dan mengamuk dalam menulis dan mengirimkan surat-surat pembaca.

epistop gun : penulis surat pembaca yang getol melakukan satu tembakan dengan multi sasaran. Satu surat pembacanya dikirimkan untuk banyak media.

epistophobia : ketakutan yang tidak masuk akal terhadap surat-surat pembaca. Biasa diidap oleh kalangan birokrat yang korup.

epistopolis : kota “suci” yang menjadi kiblat kaum epistoholik karena menjadi domisili tokoh epistoholik dan jadi epicenter, pusat gempa penyebaran ide-ide dan aksi kaum epistoholik. Misalnya Mumbai (India) yang menjadi domisili Anthony Parakal dan Wonogiri, domisili Bambang Haryanto, pencetus komunitas Epistoholik Indonesia.

epistopreneur : penulis surat pembaca yang karyanya dimanfaatkan untuk menunjang suksesnya dalam berwirausaha secara bijak dan terukur. Tetapi bila terlalu menonjolkan sisi komersial, hingga terjebak menjadi epistomercial hal itu dikuatirkan justru akan merugikan usahanya sendiri.

epistosaurus rex : penulis surat pembaca yang tidak mengurus, tidak memperbarui (up-date) koleksi surat pembaca di situs blognya di Internet secara periodik. Yang bersangkutan juga pasif dalam membina interaksi dengan sesama warga komunitas epistoholik. Yang bersangkutan dikuatirkan sebagai spesies epistoholik yang diambang kepunahan. Situsnya sendiri disebut epistomb.

epistown : kota domisili kaum epistoholik, tetapi belum bertaraf sebagai epistopolis.



Surat-Surat Pembaca Di Mata Mereka


Anthony Parakal (72 tahun), warga Evershine Nagar, Mumbay, India, yang telah menulis surat pembaca di pelbagai surat kabar dunia sebanyak 5.000 surat berbahasa Inggris.

Ia telah menulis surat-surat pembaca sejak tahun 1955. Pada tahun1998, menurut Indian Express Newspapers (Bombay), Anthony Parakal telah dinominasikan sebagai Tokoh Tahun 1998 (Man of the Year) oleh American Biographical Institute. (http://www.indianexpress.com/ie/daily/19981214/34850634.html).

Profil dirinya telah dimuat dalam Limca Book of Records (from 1990 onwards) dan juga dalam terbitan bergengsi Guinness Book Of World Records (1993, Indian Edition), selain muncul dalam majalah internasional TIME (April 6 and May 4, 1992) atas prestasi dan komitmen sosialnya :

· “Menulis surat menjadi obsesi diri saya dan tak ada hari yang terlewat tanpa melihat nama saya, sekurang-kurangnya dalam tiga buah surat pembaca yang muncul dalam terbitan surat kabar. Hal ini karena keyakinan saya terhadap dampak dahsyat suatu media yang saya pilih untuk mengemukakan isu-isu tersebut”

· (Walau Anthony Parakal menghargai surat-surat penghargaan yang dikirimkan beberapa Perdana Menteri India, seperti Gulzari Lal Nanda, Morarji Desai, Indira Gandhi, Rajiv Gandhi, atas prestasinya, ia merasakan kepuasan yang lebih besar apabila fihak yang berwenang menanggapi segera keluhannya.). "Baru-baru ini, setelah surat saya dimuat yang menyuarakan keluhan saya tentang tiadanya lampu penerangan jalan di Evershine Nagar, maka fihak yang terkait segera menanggapi dan usulan saya itu pun segera menjadi kenyataan”

· “Dengan tuntutan harus menghidupi keluarga yang terdiri dari lima orang, saya seringkali tidak memiliki uang untuk membeli perangko guna mengirimkan surat-surat pembaca saya. Cara mengatasinya, saya langsung datang ke kantor koran bersangkutan untuk menyerahkan surat pembaca saya apabila saya pandang isinya penting untuk bisa dimuat dalam terbitan esok hari“

· “Saya telah menulis pelbagai topik, di antaranya seperti korupsi, kemiskinan, dan AIDS. Topik yang paling saya minati adalah mengenai penyakit lepra dan persenjataan nuklir” (By: Pooja Kumar / http://web.mid-day.com/metro/malad/2003/november/68003.htm).

· (Kegetolannya menulis surat pembaca tidak hanya berbuah sebagai obsesi, tetapi juga menghabiskan biaya sekitar Rs 1 lakh per surat dan kadang pertengkaran dengan keluarganya, terutama istrinya.) “Kedua anak perempuan dan anak lelaki saya bisa memahami, tetapi istri saya ketika bertengkar seringkali mengancam akan membakar 15 map arsip berisikan himpunan surat-surat pembaca saya”

· "Saya bercita-cita menghimpun semua koleksi surat pembaca saya dalam bentuk buku yang sudah ada judulnya, yaitu So Far So Bad dan kini saya sedang mencari sponsor untuk penerbitannya. Ada beberapa sponsor yang berminat, tetapi mereka menginginkan agar beberapa surat saya yang mengeritik pemerintah untuk dibuang. Saya menolak untuk berkompromi”(http://ww1.midday.com/mumbaikar/2003/november/68421.htm).


Bimo Wijoseno, wartawan majalah Intisari, Jakarta.

“Saya sendiri paling senang membaca surat pembaca. Biasanya saya baca paling pertama.” (Email ke Bambang Haryanto/Epistoholik Indonesia, 31/3/2004).


Herman Tony, kolumnis, praktisi pariwisata (perhotelan) Yogyakarta. Warga Epistoholik Indonesia.

· “Saya suka dan sering menulis surat pembaca, rubrik bisnis dan artikel opini di harian lokal Yogyakarta, yaitu Harian Bernas dan Kedaulatan Rakyat. Malahan harus saya katakan bahwa melalui surat pembaca saya pertama kali mensosialisasikan pikiran dan / atau tanggapan saya atas masalah aktual yang ada di masyarakat terutama memiliki keterkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan pariwisata di tanah air umumnya dan pariwisata Yogyakarta khususnya.” (Emailnya ke Bambang Haryanto / Epistoholik Indonesia, 2/4/2004).


Lasma Siregar, petualang, TKI, penulis, petani dan seniman Indonesia yang kini tinggal di pedalaman Melbourne, Australia. Warga Epistoholik Indonesia.

· Di Australia, sebuah surat pembaca harus ada nama, alamat, nomer phone-nya. Penulis dikontak, apakah benar-benar ada yang bernama A di A dan yang ditulisnya bisa dibenarkan. Soalnya terkadang apa yang ditulis begitu bermutu untuk diselidiki dan akhirnya jadi berita.

Pernah seorang rakyat kecil bernama A melihat ditepi laut ada truck membuang sampah yang chemical dan berbahaya. Dia catat nama perusahaannya dan nomer truck lalu kirim surat pembaca. Ketika ditanya, mengapa ia tidak melaporkan polisi? Ia menjawab: Soalnya kalau menulis surat dirumah lebih tenang dan bisa lebih dipikirkan. Kalau melapor ke polisi, malah jadi ramai nggak karu-karuan. Polisi datang, tetangga pada ribut dan pengen tahu apa yang terjadi.

Bagaimana di Indonesia? Apakah ada syarat-syarat yang wajib dipenuhi sebelum diterima Redaksi untuk dimuat? Bayangkanlah kalau tidak diperiksa, ada seseorang yang pakai 50 nama yang berbeda dan mengirimnya dalam 50 versi berbeda kepada 50 media? Orang-orang yang dikategorikan teroris bisa pakai surat pembaca buat kampanye desas desus yang berbahaya! (Emailnya tanggal 16/12/2003 kepada Bambang Haryanto).

· “Banyak orang di Australia yang bilang mereka menemukan sesuatu yang benar dan menarik di lembaran surat pembaca. Yang ditulis rakyat biasa dengan bahasa sederhana tanpa banyak hiasan kata hampa.”

· “Kata orang, kalau mau tahu New York bacalah surat kabar, majalah dan bukunya. Baca surat pembacanya ! Jantung kota New York berdebar dalam kehidupan rakyatnya, aroma jalanan dan ributnya pasar di tengah sibuknya manusia yang kian kemari.” (Artikel “Mengapa Wonogiri Bisa Jadi Markas JEI ?”, Mediakrasicom, 22/12/2003 / http://www.mediakrasi.com)


Muti Siahaan, Pengelola Rubrik Muda, Harian Kompas

· “Menulis adalah salah satu cara efektif untuk menunjukkan partisipasi kita. Tuangkan deh unek-unek kita dalam tulisan dan kirimkan tulisan itu ke media. Bentuknya sih macam-macam. Bentuk paling sederhana ya lewat surat pembaca. Kita bisa kirimkan ke koran atau majalah-majalah sosial politik. Atau bisa juga kita membuat sebuah karangan untuk dimuat di majalah dan koran. Tulis deh dari sudut pandang kita sebagai remaja. Misalnya nih, sekarang orang sedang ramai ngomong kampanye. Kenapa engga kita tulis karangan soal kampanye dari sudut pandang remaja. Seru lho. “(Kompas, 2/4/2004).


Oey Tjong Hoo, Kutoarjo, penulis surat pembaca di harian Suara Merdeka.

· “Tanpa adanya kolom surat pembaca, Suara Merdeka bak pedang kehilangan sarungnya, atau sayur tanpa garam. Terasa hampa !” (Beliau juga menyarankan agar para penulis surat pembaca itu diberikan kenang-kenangan, misalnya topi, kaos, jaket yang berlogo Suara Merdeka. Misalnya, dengan cara diundi.). (Surat Pembaca, Harian Suara Merdeka, 10/3/2004)


Rosita Sihombing, simpatisan Epistoholik Indonesia, warga Indonesia yang tinggal di Paris, Perancis.

· “Saya senang sekali membaca surat pembaca baik lewat Internet maupun media cetak, apalagi sejak saya tinggal di luar negeri, keinginan saya untuk membaca surat pembaca di media-media di Internet semakin tinggi ! Kadang-kadang saya malahan lebih memilih membaca surat-surat pembaca daripada berita-berita yang ditulis oleh wartawan, karena biasanya pesan-pesan dari penulis di surat pembaca lebih mengena dan saya rasa cukup objektif ! Misalnya, ketika ada satu topik yang sedang heboh yg terjadi di Indonesia, saya buka saya surat pembaca di media-media yang ada di Internet. Nah, dari tulisan-tulisan atau komentar-komentar para penulis surat pembaca saya bisa mengambil kesimpulan dari topik-topik yg sedang "in" di Indonesia ! “(Emailnya ke Bambang Haryanto, 11 Desember 2003 ).


Soeroyo (80), wredatama Solo,Warga Epistoholik Indonesia

· “Saya pegawai negeri sipil yang sudah pensiun tahun 1981. Setelah pensiun, post-power syndrome saya jauhi dan saya harus berani menghadapi kenyataan. Saya beristirahat total setiap hari, dari bangun tidur sampai tidur kembali yang sungguh menjemukan. Guna menghilangkan sebel, saya isi waktu dengan banyak mendengarkan siaran radio, banyak melihat tayangan TV serta banyak membaca apa saja yang bisa dibaca.

· Apabila ada hal-hal yang tidak laras dengan pola pikir saya, maka saya mencoba menulis yang hasilnya saya kirimkan ke redaksi suratkabar, apa saja. Pertama saya kirimkan ke Sinar Harapan, yang kemudian berganti nama Suara Pembaruan yang saya menjadi pelanggannya. Ternyata tulisan-tulisan saya banyak dimuat, kemudian tulisan saya kirimkan juga ke Suara Merdeka, Surya, Bernas dan Solopos. Saya merasa senang kalau tulisan saya dimuat, sebab pasti akan dibaca oleh orang banyak. Rupanya inilah salah satu hiburan saya selaku manula wredatama/pensiunan.

· Cukup banyak juga pembaca yang setuju dengan tulisan saya, namun ada juga yang sifatnya memberikan kritik membangun. Paham saya, agar pikiran ini tetap bekerja dan kreatif tidak loyo mengikuti jasmani yang usur di usia senja. Sangat ideal menerapkan TOPP baru, yakni Tua, Optimis, Prima dan Produktif, bukan TOPP lama yang kita kenal : Tua, Ompong, Pikun dan Peot.

· Saya anjurkan pada para epistoholik muda supaya lebih gencar menulis yang positif. Semua itu bisa dijadikan sarana guna mencerdaskan anak bangsa. Semoga gagasan indah bisa terlaksana dengan baik. Amin. “ (Surat Pembaca, “Merintis Wadah Epistoholik”, di Harian Solopos, 5/12/2003)


Susanna Tamaro dalam novelnya Pergilah Kemana Hati Membawamu (Va’ Dove Ti Porte Il Cuore) yang dimuat bersambung di Harian Kompas (10/3/2004) :

· “Dan surat-surat pembaca itu. Tak hentinya aku mengagumi hal-hal yang ditulis dengan berani oleh orang-orang itu.”

(Bersambung ke : Biodata Bambang Haryanto)

No comments: